Saya mau share pengalaman yang saya alami pada hari Minggu kemarin. Saya menemani Papa dan Mama menjadi wali baptis di acara baptisan anak di Katedral Roh Kudus Denpasar. Pada akhir sesi acara, seorang katekis mengumumkan bahwa stipendium harap dimasukkan ke dalam amplop dan dikumpulkan kepada bapak tersebut untuk diberikan kepada Pastor. Pada detik itu juga ada penolakan dalam bathin saya.
Reaksi ini tidak hanya mewakili diri saya sendiri, tapi saya melihat para orang tua baptisan itu berasal dari latar belakang ekonomi yang beragam. Saya melihat ada orang tua bayi yang berasal dari etnis Indonesia Timur dengan pakaian yang sederhana, dan saya yakin mereka mengusahakan stipendium dari kekurangannya (Markus 12:41-44)*. Saya juga melihat ada bayi dari golongan etnis lain yang orang tuanya, tampak dari penampilannya, cukup berada. Dan saya pun yakin mereka akan memberikan stipendium dari kemampuan mereka. Yang saya tidak setuju dan bereaksi keras terhadap kejadian ini adalah tidakan katekis tersebut yang memfokuskan pelayanan pada stipendium semata. Telinga saya risih mendengar pengumuman stipendium tersebut, seolah-olah itu dalah sebuah pungutan wajib. Saya, jika saya bukan seorang katolik dan menjadi katekumen, maka saya akan bertanya,” oh jadi kalau mau baptis aja bayar? Jadi Katolik gak gratis dwooonk??”
Kita diajarkan bahwa dasar utama iman katolik adalah cinta kasih dan pelayanan. Jadi fokus utama dari katekis tadi seharusnya pelayanan BUKAN stipendium. Pelayanan terhadap umat di gereja seharusnya GRATIS!!! Pentingkah “stipendium untuk pastor”? Untuk Gereja sekelas Katedral Roh Kudus Denpasar, kesejahteraan Pastor sudah dipenuhi. Hidup mereka sangat dimuliakan dengan berbagai fasilitas. Puji syukur atas rejeki jasmani yang di berikan. Kecuali pada acara baptisan itu pastor harus menempuh perjalanan jauh, menyeberang sungai, berjalan kaki, dan segala perjuangannya yang luar biasa untuk melayani umatnya. Dan, sekali lagi, stipendium bersifat persembahan umat kepada Tuhan Allah, diberikan dari kebulatan, kerelaan hati, dan kemampuan kantong umatnya, ya to?
*…”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”
08 Maret 2010 jam 21:11
Frans. Nadeak
BalasHapusUntuk hal-hal yang seperti ini, kita usahakan agar melihat dan mengetahui segala informasi dengan tepat.
Memang cara dan tujuan itu memang sepertinya sederhana, tapi orang tertentu (para relawan, para panitia, para pekerja, dan para pengurus) mungkin menerjemahkan lain.
Tentang paket, tidak seluruhnya tepat. Biasanya ada kesepakatan dari semua orangtua baptis (kalau yang dibaptis bayi), tentang siapa yang menyediakan alat-alat semacam lilin, kain putih, dan mungkin yang lain.
... Lihat Selengkapnya
Jadi agar mudah dan tidak merepotkan, mungkin panitia yang mengurusnya dengan ada biaya. Tinggal barang apa yang disediakan, ya disetor biayanya. Bukan paket untuk mengambil keuntungan. Dan saya sudah menemani banyak paroki untuk yang seperti ini, tidak ada biaya diambil dan untuk panitia.
Tentang stipendium, biasanya juga tidak ditentukan biayanya. Kalau ada tinggal tanya ke pastor parokinya.
Jadi jangan berpikir agak negatif dulu.
Pastikan biaya-biaya apa saja, dan siapa yang menyediakan.
Kalau orangtua mau menyediakan semuanya, mereka tidak dipungut biaya.
08 Maret jam 22:43
Frans. Nadeak
BalasHapusKalau pun orangtua yang menyediakan semua, tapi untuk lilin dan kain putih atau mungkin yang lain, akan memerlukan biaya juga bukan?
Di beberapa tempat yang saya dampingi, stipendium tidak pakai nama pada amplop dan tidak ditentukan besarnya. Dan dengan ketekunan dan dari kekurangannya, walaupun tidak etis sedikit, tapi ada yang memberi (hanya) Rp 1.000.
Tidak menjadi soal. Dan keluarga itu pun sudah sangat gembira. Karena kain dan lilin pun untuk keluarga itu, dibantu oleh keluarga lain.
08 Maret jam 22:47
Danielle Woro Prabandari
BalasHapusKak Frans: yup sebaiknya memang dibicarakan. dan stipendium kalo bisa jangan diumumkan di mimbar, tapi udah di umumkan sebelum acara...pas gladi resik misalnya, gak etis aja gt...dan sekali lagi fokusnya ke pelayanan bukan biaya ini itunya....
08 Maret jam 22:54
Frans. Nadeak
BalasHapus@ Danielle Woro
He.. he.. he..
Tulisan dan pendapat seperti ini sangat baik untuk mengingatkan dan menyadarkan kita.
Tapi sering dan terlalu banyak umat, mau mengambil yang 'enak-enak' saja, memilih jalan yang gampang-gampang saja tanpa pernah mengamati mengapa semua prosesi acara itu berlangsung dengan baik (kalau baik), atau setidaknya bagaimana acara itu bisa terlaksana.
... Lihat Selengkapnya
Pernahkah membayangkan para pendamping untuk orangtua yang anaknya mau dibaptis atau paling seru pendamping untuk katekumen?
Siapa? Ya, orang awam juga. Tapi awam siapa.
Kebanyakan umat katolik akan bergumam juga dalam hati,"Orang lain saja, yang penting bukan saya! Saya banyak urusan!"
Kalau semua seperti itu. Lalu di mana tanggung jawab bersama? Di mana tanggung jawab komunitas?
Padahal yang paling bersinggungan dengan umat itu secara riel adalah para awam, kecuali memang seseorang punya hubungan intens dengan seorang imam. Tapi pada umumnya, ya imam hanya misa, lalu mungkin ngobrol sedikit setelah misa dan kemudian kosong seminggu sampai ada misa lagi, biasanya hari Minggu berikutnya. Lalu apa yang didapatkan seseorang kalau hanya ke gereja saja tanpa keterlibatan?
Iman akan menjadi kacau hanya menjadi urusan liturgis, bukan lagi aksi dan tindakan atau istilah yang sering muncul perbuatan.
:-)
08 Maret jam 23:04 ·
Echa Ekawaty
BalasHapusMemang cara penyampaian yg krg tepat bisa membuat org mjd slh pengertian. Kl di tempatku (lampung) ada stipendium jg tp sukarela ya bentuk ucapan syukurlah tp biasanya sdh dibicarakan di pertmuan sblmnya. Lilin mmg kt byr jg tp hrgnya standar kok, kain putih bawa masing-masing.
08 Maret jam 23:20
Arya Abieta
BalasHapusinilah yang disebut seni berkomunkasi............
kita, indonesia, yang bermacam suku, punya 'rasa' yang berbeda-beda... baik untuk saya belum tentu baik untuk anda... itu namanya berkah keragaman... dan bagi yang bisa menerima berkah ini akan menikmati hidup lebih baik dari yang lain.....@
09 Maret jam 1:23 ·
Henry C. Widjaja
BalasHapusMungkin si katekumen tidak berpikir sejauh itu (misalnya sampai bermotif mencari uang lewat stipendium) tetapi hanya mencari praktisnya saja. Tetapi feedback ini baik juga disampaikan kepada pengurus gereja ybs, agar ritual tidak menjadi hal yg otomatis atau rutin & meninggalkan makna yg terkandung didalamnya
09 Maret jam 1:36 ·
Raf Radiant Van Jogja
BalasHapusYah inilah namanya organisasi keagamaan... jangankan katolik, saya yakin untuk semua agama menerapkan yang sama. Perlu diketahui untuk menghidupi organisasi keagamaan itu biayanya tidak sedikit, makanya semua pembiayaan keagamaan mau tidak mau juga harus dari partisipasi umatnya. Cuma saya setuju, tidak perlu masalah stipendium dipublikasikan ke ... Lihat Selengkapnyaumum, cukup dipanggil satu per satu dan dijelaskan. Sebagai umat yang dewasa pasti kita akan mengerti pentingnya stipendium untuk kebutuhan gereja, apalagi pastor itu manusia yang juga butuh keperluan hidup sehari-hari. So jadilah umat yang dewasa....
09 Maret jam 1:58 ·
Yonny Harianty
BalasHapusAda lagi Dan, pas homili Romonya jualan buku, pakai ditambahi bilang gini: "Kalau baca buku ini dan mengikutinya, pasti masuk surga", mungkin gw salah nangkep, tapi sejak itu gw dah gak pernah lagi ikut misa yang di Puncak itu - tuh... rasanya gak sreg...
09 Maret jam 9:03 ·
Lieke Soe
BalasHapus...dari Dark Middle Age, sampe Aufklarung, sampe sekarang...ya gitu itu...institusi dunia. tafsir 'iman' kan juga beragam; tapi kalau menyitir Ibu Teresa, "Pada akhirnya, engkau akan tahu bahwa ini adalah urusan antara engkau dan Tuhanmu. Ini bukan urusan antara engkau dan mereka".
http://www.facebook.com/notes/cuk-riomandha/ini-bukan-urusan-... Lihat Selengkapnyahttp://www.facebook.com/notes/cuk-riomandha/ini-bukan-urusan-antara-engkau-dan-mereka/339525768194
jadi seperti kata kak Frans diatas, kondisi suatu seremoni memang sangat tergantung konteks penyelenggaranya...dan mungkin, yang lebih tepatnya; bagaimana sebagai murid Kristus yang peka pada jamannya, pilih kultur atau pilih butuh?
AMDG
keep rock, danielle :)
09 Maret jam 18:27 ·