Rabu, 16 Juni 2010

Gereja (Katolik) Bukan Gedung Opera



Disadur dari Nuntia edisi Mei 2010

Tepuk Tangan Lagu Komuni
Sudah hampir menjadi tradisi di Gereja Paroki Roh Kudus Katedral Denpasar atau juga di Gereja FX Kuta, umat tanpa dikomando akan bertepuk tangan sesudah koor menyanyikan lagu komuni. Dan juga seperti sebuah kebiasaan, koor memilih lagu yang paling meriah pada saat itu. Dirigen dengan sikap atraktif dan demonstratif mengundang tepuk tangan umat. Berikut sebuah surat dari Romo Franz Magnis Suseno SJ yang dimuat di majalah HIDUP edisi bulan Februari [...]

Perkenankan saya berbagi grundelan dengan para pembaca terhomat. Malam Natal saya konselebrasi dalam misa di salah satu Paroki. [...] waktu komuni suci dibagikan, seorang bapak dari koor dengan suara penyanyi profesional, menyanyi solo, sangat ekspresif. Sesudah selesai, umat penuh semangat bertepuk tangan. Pada saat komuni dibagi!...

Saya amat terkejut. Kok bisa! Komuni adalah peristiwa paling sakral bagi umat Katolik [...] Pada saat itu, seharusnya seluruh perhatian umat 100% terpusat pada Yesus, Allah beserta kita yang sedang datang. [...] Pastor Paroki kemudian menceritakan bahwa ia sudah memperingatkan umat tetapi tanpa hasil, dan pernah waktu itu mau memberikan hosti suci kepada umat,dia itu bertepuk tangan dulu.

Apa umat belum pernah membaca I Korintus 11:29? Terus terang, andaikata saya yang memimpin upacara, saya akan langsung menghentikan seluruh pembagian komuni dan mengajak umat untuk berdoa tobat. [...] Suatu kesesatan penghayatan yang memalukan apabila orang tidak bisa lagi membedakan antara ibadat yang diarahkan kepada Allah dan acara hiburan! Apakah dilupakan bahwa hormat dari semua pemeran dalam Ekaristi: pastor, pengkotbah, koor, umat, dll terletak dalam pelayanan tanpa pamrih, demi kemuliaan Tuhan, yang mereka berikan? Apakah koor kita lupabahwa tugas satu-satunya mereka adalah membuka hati umat bagi Tuhan dengan keindahan lagu lagu mereka. Tepuk tangan pada saat akhir Misa, yaitu pada saat pastor menyatakan terima kasih adalah saat tepat dan sesuai.

Sebagai catatan: lagu solo sebaiknya hanya diadakan pada akhir ibadat. Hal ini sepenuhnya juga berlaku bagi ekaristi perkawinan. Kalau perkawinan ditempatkan dalam Ekaristi, seluruh perayaan harus berupa pujaan terhadap Allah bukan pemanis para mempelai. Kalau iman kita pada Ekaristi mau Credible, kita harus belajar kembali menunjukkan sikap hormat terhadap Allah yang hadir.


Renungan seorang Danielle:

Kadang pada saat kita beribadah, godaan yang paling besar adalah apakah bobot Ibadah kita tersebut dinilai memang mencintai dan menghormati Allah atau hanya merupakan "Arogansi Rohani" semata. Kasus di atas menunjukkan bahwa fokus beribadah sudah bergeser. Gereja menjadi gedung opera, dan rangkaian ibadah seperti sebuah "pertunjukan" rohani. Dekorasi yang wah dan indah, koor yang atraktif, dll. Semua itu untuk apa? memuliakan Tuhan atau mendapat pujian? Jika umat ingin bertepuk tangan, baiklah mereka melakukannya di komunitas yang mengijinkan ini, komunitas karismatik katolik misalnya. Marilah kita mulai menghilangkan "Arogansi Rohani" dalam hati kita, karena jika demikian, maka di dalam hati kita telah tumbuh Fira'un Fira'un kecil, dan memiliki sifat jumawa berarti kita tidak ada bedanya dengan Kaum Farisi.

02 Mei 2010 jam 9:56

6 komentar:

  1. Henry C. Widjaja
    Di parokiku ada romo yg memprakarsai misa hening. Misa tanpa koor & khotbah. Tidak sampai 1 jam sudah selesai. Sayangnya kalau misa tsb dipimpin oleh romo lain, selalu disebut misa minggu jam 8 malam itu adalah misa untuk yang malas ke gereja (kemudian ia berkhotbah ber-lama2). Bener juga sich untuk orang seperti aku yg memang jarang ke gereja. ... Lihat SelengkapnyaTapi sering kali aku menemukan berdoa dalam misa tsb terasa lebih khusuk, karena memang lebih singkat waktu & tak perlu "mabuk" kata2 (karena aku susah konsntrasi mendengarkannya :-) )

    BalasHapus
  2. Claudius Haryo
    memang ini yg terjadi di denpasar.. yg tepuk tangan pertama adalah orang yang paling pengen cepet pulang kali ya... 02 Mei jam 19:23

    BalasHapus
  3. sependapat dengan renungan seorang Danielle, tersebut: bahwa telah terjadi "Arogansi Rohani" dengan mengedepankan beberapa hal yang lebih mengarah kepada perlakuan menunjukkan bahwa fokus beribadah sudah bergeser, Gereja menjadi gedung opera, dan rangkaian ibadah seperti sebuah "pertunjukan" rohani. Dekorasi yang wah dan indah, koor yang atraktif, dll. Semua itu untuk apa? memuliakan Tuhan atau mendapat pujian? Jika umat ingin bertepuk tangan, baiklah mereka melakukannya di komunitas yang mengijinkan ini,

    BalasHapus
  4. Eventius Nikolaus
    Mungkin itu merupakan bentuk ucapan syukur yang kebablasan,, sehingga kadang sebagian umat salah menempatkan bentuk pujian itu,, ataukah kurangnya pemahaman akan bagian2x ekaristi, sehingga mereka keliru kali yah...tetapi itu semua pasti masih dapat diluruskan sesuai dengan arti dan pemahaman akan perayaan ekaristi secara semestinya....:)

    BalasHapus
  5. Krisna Jaya
    Sama tuh di Islam..Habib2 yang bergaya bak dewa..dan diiringi musik meriah serta petasan, pake mengganggu jalan orang lagi...katanya memuliakan Allah dan Rasulnya..prakteknya berboros-boros untuk memuliakan si habib beserta kelompoknya aja menjadi fir'aun-fir'aun baru.....entah kenapa tokoh2 agama bisa se konyol itu ya?
    09 Mei jam 8:20

    BalasHapus
  6. Lieke Soe
    wah, kebangaten tuuwww...ya Dewan Gerejanya perlu di-retret lagi *geleng2 kepala prihatin*
    ...hmmm, ya mungkin saja begitu ya mas Stephanus Edi Pambudi, tapi kalau sudah melenceng..masa dari sekian banyak orang di dalam gedung itu latah sih? :D
    04 Mei jam 18:49

    BalasHapus