Rabu, 09 Juni 2010

Dermaga Kosong

Sore itu, perempuan kurus berambut pendek berdiri di dermaga. Dermaga yang oleh para pelaut tidak pernah dituju. Entah mengapa mereka enggan untuk menambatkan kapalnya. Kalaupun harus bersandar mereka tidak mau berlama-lama. Begitu mereka menambatkan kapalnya, mereka hanya menyusuri kota sebentar dan tiba-tiba behenti kemudian berbalik arah menuju dermaga dan menarik sauh mereka kembali. Tidak satupun dari para pelaut itu yang menyelesaikan petualangan mereka di kota itu. Satu demi satu mereka menjauh dan memilih untuk menjauh diam-diam. Sepertinya ada yang salah dengan kota itu. Salah satu pelaut mengatakan bahwa di kota itu panuh dengan kejadian aneh. Gejala yang muncul seketika tanpa pernah diduga.
“Jika suatu hari terjadi hujan, maka kita akan merasakan panasnya aspal membakar telapak kakimu layaknya terik di siang hari.” Kata seorang pelaut.
“Kau tahu apa yang kualami? Waktu itu matahari tepat di atas kepalaku, tapi jalanan basah dan becek seperti banjir yang baru surut Selayaknya adalah aku kepanasan terpanggang matahari hingga aku pingsan!”
“Aku pernah melihat segerombolan burung camar di langit yang hujan lebat. Ada cahaya petir berkelebat tapi mereka nampak tidak khawatir menuju sarang seolah-olah langit sedang cerah!”
“Aneh, dua gejala yang sangat bertolak belakang terjadi dalam sesaat. Itu tidak mungkin. Dan lebih tidak mungkin lagi jika kita hidup disini. Jiwa kita akan lelah...”
Dan selelah itu pulalah wajah kota tersebut. Menjalani kejadian-kejadian yang saling bertabrakan setiap harinya. Ingin rasanya perempuan itu menghentikan kekacauan ini. Paling tidak, jika kekacauan itu terhenti, maka terhenti pulalah kekacauan hidupnya. Tapi apa mau dikata, kota itu sudah dikutuk untuk memiliki jiwa yang mendua dan saling bertolak belakang. Dan perempuan kurus berambut pendek itu hidup di dalamnya.
“Aku ingin melihat gelap dan terang berdampingan,” Kata perempuan itu suatu sore.
“Setiap hari aku melihatnya di langit itu, di ujung lautan.” Katanya sambil menunjuk ke dermaga.
“Setiap sore mereka bertemu, gelap dan terang berdampingan.” Sambungnya. “Tapi bukankah sepantasnyalah di sore hari gelap datang menggantikan terang?” Tanya seorang pelaut muda yang baru pertama kali singgah di kota itu.
“Tidak, gelap menyusul terang dan tinggal bersama-sama. Atau gelap datang terlebih dahulu sebelum terang dan akhirnya mereka bersanding. Kadang-kadang mereka datang bersama-sama dan selalu berdampingan. Yang pasti mereka selalu ada bersama dan tidak saling menggantikan. Oleh sebab itu pada saat yang sama aku bisa memilih tinggal dalam gelap atau terang. Jika aku tidak tinggal disini, setiap sore aku hanya pasrah menerima kegelapan. Disini aku bebas memilih. Hari ini aku pilih gelap. Besok aku mungkin tinggal dalam terang. Lain hari lagi kau bisa menemukanku di kegelapan.”
“Lihatlah langit itu, seperti panggung teater yang gelap yang dibelah oleh sorot lampu yang terang. Indah bukan? Jika kamu ingin menjadi aktor kehidupan, berdirilah di tempat terang. Tetapi jika kamu ingin berkarya di balik panggung, buat karyamu di kegelapan.”
“Hidupmu pasti menarik sekali!” Petualang bodoh itu berkomentar.
“Menurutmu begitu? Mungkin orang lain melihatnya begitu. Tapi coba kau renungkan, aku melihat segala bentuk dalam sekejap mata. Aku harus menghirup semua sari dalam satu tarikan napas. Semuanya harus kurasakan sekaligus dalam hitungan detik. Aku harus melakukan banyak hal dalam satu jentikan jari. Itu artinya aku harus memiliki hati seluas samudera untuk bisa menampung semua itu.”
Pelaut muda itu berusaha merenungkannya. Dahinya tetap berkerut kala perempuan kurus berambut pendek itu berlalu daripadanya. Jadi petualangan di laut jauh lebih menyenangkan daripada kota pelabuhan ini? Dan pelaut tolol itu pun mengangkat sauh diam-diam walaupun hatinya tertambat diam-diam pada perempuan itu.

Diposting oleh danielle di 10:42 PM
Wednesday, January 10, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar