Siang ini, ketika membuka laptop, di layar komputer, muncul tulisan Danielle Belle berjudul "Stoic" disiarkan melalui milis apresiasi-sastra@yahoogroups.com
Lengkap tulisan tersebut sebagai berikut:
STOIC
Aku kebas
tapi tak juga puas
Aku tak peduli
tapi kunikmati
....
kebahagiaan
kesakitan
....
Seperti para stoic yang mendidik perasaannya
memastikan bahwa dunia akan baik-baik saja
walaupun ada satu hati yang patah
bah, aku tak menyerah!
-- Danielle, deus iudex meus est
http://daniellebelle.blogspot.com/ .
[Sumber: "Gabriel Garcia Marquez" melancholicwhore@gmail.com, in: milis apresiasi-sastra@yahoogroups.com , Sun, 17 Feb 2008 17:51:10 +0700]
Oleh rasa ingin tahu lebih lanjut, maka saya pun membuka blogspot Danielle di mana saya dapatkan serangkaian tulisan-tulisannya dengan tema beragam. Yang banyak menarik perhatian saya, bahwa tulisan-tulisan Danielle, adalah kesan bahwa ia lebih banyak menggeluti bidang perenungan atau pemikiran, mencoba menangkap sari gejala dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Menjadi sederhana memang tidak mudah, tapi pada kesederhanaan terdapat keindahan karena ia barangkali merupakan pohon dengan bunga indah wangi, yang tumbuh di ranah pencarian dan pendalaman. Pencarian dan kembara jiwa yang tak lelah dan "tak punya sampai", jika menggunakan istilah Pelukis Salim -- pelukis Indonesia yang sejak usia 17 tahun sudah tinggal di Paris, kini berusia 101 tahun. Indahnya kesederhanaan, barangkali, di dalamnya terdapat kebenaran, dan tidakkah kebenaran itu indah? [Tentu saja saya sadar bahwa soal kebenaran dan indah itu sendiri, dari dulu sampai sekarang, membuka gerbang lebar buat suatu perbincangan panjang]. Kesederhanaan akan menjadi makin indah jika ia sekaligus mengangkat universalitas nilai sebagaimana universalitas konsep "wolak-waliké zaman".
Kesederhanaan dipadani oleh universalitas ini, kudapatkan pada tulisan "Stoic" di atas. Di tulisan ini, Danielle Belle antara lain menulis:
"dunia akan baik-baik saja
walaupun ada satu hati yang patah"
Kesederhanaan dan universalitas begini juga telah melahirkan puitisitas yang kuat pada tulisan di atas. Karena itu sederhana itu indah tapi tak mudah. Sebagai contoh lain dari kesederhanaan itu indah, guna menjelaskan apa yang kumaksud terdapat pada baris Chairil Anwar :
"sekali berarti sudah itu mati"
atau, baris-baris puisi Ho Chi Minh:
"bulan memancing syair
tunnggu sampai besok
aku sibuk dengan urusan perang"
atau larik-larik Mao Zedong dalam puisinya "Kembali Ke Shaosan":
"pengorbanan pahit membulatkan tekad
yang kuasa menempa surya dan candra bercahya di cakrawala baru"
Ciri kesederhanaan ini agaknya membuat Danielle tampil rada beda dengan penulis-penulis lain yang muncul di berbagai milis termasuk di milis "apresiasi sastra". Tampil dengan wajah perempuan lebih alami, seadanya, tanpa banyak dipulas oleh make-up atau dandanan bergincu dan berbedak. Pergulatan Danielle lebih bertumpu pada menangkap hakiki dari gejala dari dari tumpuan ini Anda mencari puitisitas. Dengan cara begini, tentu saja tidak nampak padaku bahwa Danielle berpuisi dengan bermain-main dengan kata, bermain-main dengan estetika, walau pun memang, unsur estetika itu penting untuk suatu karya sastrawi. Betul pula, bahwa kata alat kerja utama penyair. Danielle agaknya memilih pendekatan lain dalam berpuisi. Ia tidak berangkat dari dermaga estetika murni sehingga sering karya [puisi] yang lahir, kemudian sering tidak mengatakan apa-apa . Tentu saja, saya tidak memutlakkan bahwa yang berangkat dari dermaga estetika, tak pernah sampai ke pantai hakiki ketika melayari samudera gejala. Tapi sering terjadi, karena misalnya kurang tenaga, sang penyair bermain-main di permukaan, seperti seekor angsa putih anggun merenangi air danau. Sesekali mencelupkan kepala ke dalam air. Kepala angsa putih anggun itu tak mengenal dasar telaga atau danau.
Pasti saja, adalah hak masing-masing penyair memilih metode pendekatan mana yang akan digunakan dalam bersastra. Dari karya sastrawi masing-masing, pembaca yang berdaulat pun apa-siapa dan bagaimana sastrawan tersebut. Karya adalah diri jiwa sastrawan sendiri dalam proses usahanya mencari diri dan meraih makna. Sebagai seorang awam dan selalu merasa diri sebagai pelajar awal di dunia sastra-seni, saya tidak mengatakan mana yang baik dan mana yang buruk dari dua metode tersebut. Bagaikan seorang busana seorang peragawati-peragawan, karya yang telah disiarkan tak obah busana yang yang diperagakan itu berhadapan langsung dengan penonoton yaitu pembaca yang berdaulat.
Dengan alasan-alasan di ataslah maka terkesengsem pada baris-baris:
"dunia akan baik-baik saja
walaupun ada satu hati yang patah"
Berkata banyak dan terasa bisa kupungut sebagai penyang pambelum[sangu jiwa menarungi hidup], jika menggunakan istilah orang Dayak Katingan. Terasa puisi dan sastra, jadinya seperti pada masa bocahku dulu, bertindak sebagai ibu, yang memberiku nasehat, acuan, menyemangati serta memberiku harapan dalam menyongsong hari-hari yang kulalui. Inikah fungsi sastra, termasuk puisi? Entahlah tapi saya layak berterimakasih kepada Danielle Belle!***
Paris, Musim Dingin 2008
-----------------------------------
JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.
Diposting oleh danielle di 2:30 AM
Monday, February 18, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar