Danielle Belle! I am letting you to steal my soul for a while.... This is my closet where i put my thought, my life, my lingeries.... This blog is dedicated to Cahyo. Now stop terrorizing me! Enjoy guys!
Rabu, 16 Juni 2010
Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Eksistensi mendahului esensi adalah bahwa pertama tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Ing: surges up, Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu karena pada permulaanya dia itu memang bukan apa2 (nothing) sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia)
Inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu dimana tempat orang lain dalam eksistensi individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentaukan sendiri misalnya: kita lahir dimana? Dalam keluarga apa?, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa?, dan macam2 hal lainnya? Subyektifitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur dari pada ciptaan lain seperti hewan, batu, atau meja. Subjektifitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama2 eksis. Manusia adalah manusia (man is) sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggung jawab atas mau menjadi apa dia (what he is), Inilah dampak pertama dari eksistensialisme, manusia menyadari bahwa dengan control berada penuh ditangannya, ia memikul beban eksistensinya, yaitu tanggung jawab dipundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggung jawab atas individualitasnya sendiri, melainkan bahwa ia bertanggung jawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subyek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subyektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah pengertian yang lebih mendalam dari eksitensialisme, yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini juga memilih dari sekian banyak kemungkinan yang terbentang luas dihadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai2 dari apa yang dipilih. Pilihan itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggung jawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya yaitu tentang humanism.
Dalam pandangan Sartre yang membedakan humanismenya dengan humanism yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri entah itu Tuhan, realitas tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang dipercayai dan yang ia libati (engagement). Baginya tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada.Kita seharusnya kembali menemukan norma-norma seperti kejujuran, kemajuan, dan kemanusiaan. Untuk itu Allah harus dibuang jauh2 sebagai sebuah hipotesis yang sudah using dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre mengutip Dostoyevsky,”Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan” Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang dianut Sartre.
Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat2 pada kodrat manusia yang specific dan tertentu, tidak ada determinisme, manusia itu bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkn sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab tidak menciptakan dirinya sendiri anmun sungguh2 bebas.
catatan: menjejak tiada henti
06 April 2010 jam 1:39
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar